Mengajar Tanpa Kapur, Mendidik dengan Nur: Refleksi Hari Guru Nasional bagi Penyuluh Agama Islam
Hari Guru Nasional 2025 ini memberi kita ruang untuk merenung: siapa sebenarnya yang layak disebut guru? Apakah hanya mereka yang berdiri di depan kelas dengan papan tulis dan buku pelajaran? Ataukah guru adalah siapa saja yang menanamkan ilmu, membimbing akhlak, dan menerangi jalan kehidupan umat—baik di sekolah, masjid, pesantren, ataupun ruang-ruang digital?
Sebagai Penyuluh Agama Islam, kita mungkin tidak selalu dipanggil “guru” secara formal. Tetapi hakikat tugas kita adalah mendidik: menyampaikan ilmu, membina akhlak, membimbing masyarakat, dan menanamkan nilai-nilai Islam yang rahmatan lil ‘alamin. Dan dalam perspektif Islam, siapapun yang mendidik menuju kebaikan, maka ia berada dalam barisan guru umat.
Allah SWT menegaskan:
وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلًا مِمَّنْ دَعَا إِلَى اللَّهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِي مِنَ الْمُسْلِمِينَ
“Dan siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, beramal shalih, dan berkata: ‘Sesungguhnya aku termasuk orang-orang muslim.’”
(QS. Fussilat: 33)
Ayat ini adalah legitimasi moral bahwa Penyuluh Agama Islam tidak sekadar menjalankan tugas administratif, tetapi mengemban risalah dakwah, pendidikan, bimbingan, dan peradaban.
1. Penyuluh Agama: Guru Tanpa Papan Tulis, tetapi dengan Amanah Ummat
Guru dalam makna fikih dan tasawuf tak terbatas pada ruang kelas. Imam al-Zarnuji dalam Ta’lim al-Muta’allim menulis:
التَّعْلِيمُ تَهْذِيبُ النَّفْسِ قَبْلَ تَحْفِيظِ الدَّرْسِ
“Mengajar adalah mendidik jiwa sebelum menghafalkan pelajaran.”
Sebagai penyuluh, kita hadir di majelis taklim, musholla, kantor KUA, rumah warga, layar Zoom, hingga media sosial. Kita mengajarkan tauhid, akhlak, fikih ibadah, keluarga sakinah, moderasi beragama, hingga literasi digital. Kita bukan hanya menyampaikan teori—tetapi menghidupkan nilai Islam dalam kehidupan masyarakat.
Di era ini, tantangan dakwah adalah turbulen. Informasi berseliweran tanpa kendali. Hoaks keagamaan, radikalisme digital, liberalisme pemahaman, hingga fenomena ustadz Google semakin kuat. Di sinilah penyuluh agama tidak sekadar menjadi pemberi informasi, tetapi filter nilai—penjaga tsawabit sekaligus penggerak tathawwur.
2. Tantangan Hari Ini: Ilmu Mudah Didapat, tetapi Bimbingan Semakin Hilang
Generasi hari ini sangat cerdas secara informasi, tetapi rapuh secara spiritual dan emosional. Banyak yang mampu menjawab dalil di TikTok, tetapi bingung mempraktikkan sabar ketika ada masalah hidup. Banyak yang fasih bicara toleransi, tetapi kasar di kolom komentar. Banyak yang pandai bicara tentang agama, tetapi tidak menjadikan agama sebagai akhlak.
Rasulullah ﷺ bersabda:
إِنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ مَكَارِمَ الْأَخْلَاقِ
“Aku diutus untuk menyempurnakan akhlak mulia.”
(HR. Ahmad)
Tugas penyuluh agama bukan hanya transfer knowledge, tetapi transfer value. Kita bukan hanya menjelaskan hukum puasa, shalat, dan nikah; tetapi juga membimbing masyarakat agar memiliki hati yang tenang, jiwa yang kokoh, dan akhlak yang dewasa.
3. Beban Diam-Diam: Penyuluh sebagai Guru, Mediator, Konselor, dan Penjaga Moral Publik
Hari ini, seorang penyuluh tidak hanya menyampaikan materi keagamaan, tetapi juga:
-
Menyelesaikan konflik keluarga,
-
Membimbing pasangan pranikah agar tidak masuk statistik cerai,
-
Menjadi konselor moral bagi anak muda yang kehilangan arah,
-
Menenangkan masyarakat dari provokasi dan intoleransi,
-
Menjadi duta moderasi, literasi digital, dan pemberdayaan umat.
Tetapi, sering kali kerja-kerja ini berjalan dalam senyap—tanpa seremoni, tanpa kamera, tanpa tepuk tangan. Sementara sebagian masyarakat hanya melihat penyuluh sebagai “petugas ceramah bulanan”.
Padahal Rasulullah ﷺ mengingatkan:
الدَّالُّ عَلَى الْخَيْرِ كَفَاعِلِهِ
“Orang yang menunjukkan kepada kebaikan mendapatkan pahala seperti pelakunya.”
(HR. Muslim)
Setiap rumah tangga yang harmonis, setiap anak muda yang terselamatkan dari penyimpangan, setiap jamaah yang mendapatkan hidayah—semuanya mengalir menjadi amal jariyah seorang penyuluh.
4. Saatnya Bangkit: Penyuluh Harus Bertransformasi
Hari Guru Nasional bukan hanya waktu untuk diapresiasi, tetapi untuk berbenah. Ada tiga arah transformasi penyuluh agama ke depan:
(1) Penyuluh sebagai Smart Educator
Menguasai literasi digital, metode dakwah kreatif, public speaking, dan platform sosial agar dakwah hadir di dunia di mana umat berada.
(2) Penyuluh sebagai Emotional-Spiritual Leader
Bukan hanya menjawab “apa hukumnya,” tetapi menuntun umat untuk menghayati, mengamalkan, dan memuliakan agama.
(3) Penyuluh sebagai Agen Moderasi dan Pembawa Kedamaian
Di tengah polarisasi sosial, penyuluh adalah penyejuk hati, bukan penyulut api.
Penutup: Penyuluh Adalah Guru Peradaban
Syair Arab yang masyhur mengatakan:
قُم لِلْمُعَلِّمِ وَفِهِ التَّبْجِيلَا
كَادَ الْمُعَلِّمُ أَنْ يَكُونَ رَسُولًا
“Bangkitlah dan muliakanlah guru,
Sungguh guru hampir seperti seorang rasul.”
Hari Guru Nasional 2025 ini adalah pengingat bahwa profesi kita bukan hanya tugas negara, tetapi tugas Nabi. Kita bukan sekadar pegawai—kita penerus risalah.
Maka teruslah mendidik, meski tak semua orang memahami beratnya langkahmu.
Teruslah membimbing, meski hasilnya tak selalu terlihat segera.
Karena setiap ilmu yang kau sebarkan, setiap hati yang kau lembutkan, setiap akhlak yang kau tumbuhkan—itulah warisan abadi menuju Allah.
Selamat Hari Guru Nasional 2025.
Untuk seluruh Penyuluh Agama—teruslah menjadi cahaya bagi bangsa. 🌿✨


Posting Komentar untuk "Mengajar Tanpa Kapur, Mendidik dengan Nur: Refleksi Hari Guru Nasional bagi Penyuluh Agama Islam"